Istilah pemakzulan seringkali muncul dalam diskusi politik yang melibatkan persoalan serius dalam kepemimpinan atau dugaan pelanggaran hukum oleh pejabat tinggi. Namun, apa sebenarnya definisi dari pemakzulan dan siapa yang dapat menjadi sasaran pemakzulan? Dengan pemahaman yang lebih jelas mengenai konsep pemakzulan, diharapkan masyarakat dapat merespons perkembangan politik dengan bijak dan kritis.
Pemakzulan merujuk pada proses atau tindakan dalam menurunkan atau memberhentikan seseorang dari jabatannya, terutama dalam konteks kerajaan. Istilah ini dikaitkan dengan kondisi di mana seseorang berhenti dari jabatannya atau turun dari tahta. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, aturan terkait pemakzulan sebenarnya sudah diatur, meskipun secara tidak langsung. Konstitusi menggunakan istilah seperti diberhentikan atau pemberhentian untuk menggambarkan proses serupa, tanpa secara eksplisit menyebut makna pemakzulan.
Ahli Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menjelaskan bahwa pemakzulan hanya dapat dilakukan terhadap presiden atau wakil presiden yang sudah menjalankan tugas resmi. Artinya, presiden atau wakil presiden yang baru terpilih namun belum dilantik tidak dapat menjadi sasaran pemakzulan. Proses pemakzulan di Indonesia diatur dengan mekanisme yang melibatkan pendapat dari anggota DPR, pemeriksaan oleh Mahkamah Konstitusi, dan keputusan dari MPR.
Mekanisme ini menekankan bahwa pemakzulan tidak dapat dilakukan dengan sembarangan atau berdasarkan alasan subjektif. Setiap tahapan dalam proses pemakzulan membutuhkan bukti yang kuat, proses hukum yang adil, dan pertimbangan konstitusional yang ketat. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan memastikan bahwa pemberhentian presiden atau wakil presiden didasarkan pada pelanggaran serius, bukan karena tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu.