Krisis iklim dewasa ini telah menjadi tantangan baru dalam dunia pertahanan dan keamanan karena dampak yang ditimbulkannya bersifat multidimensional. Fenomena ini mampu diadaptasi dengan baik dalam kerangka visi-misi Asta Cita yang diprakarsai oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih Pemilu 2024. Pengembangan dalam program pertahanan dan keamanan yang terintegrasi dan bersifat holistik membutuhkan partisipasi multipihak yang lebih konkrit.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merilis Laporan Assessment keenamnya pada 2023, yang diprediksi pada Tahun 2100, suhu global akan mencapai 4 derajat, tanpa intervensi ambisius dari negara-negara di seluruh dunia.
Secara perlahan, tapi pasti, dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim ini bisa kita rasakan di sekitar kita, seperti suhu udara yang panas, timbulnya penyakit pandemik, gagal panen, dan kualitas serta kuantitas air yang berkurang.
Secara global, Indonesia termasuk dalam negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan 5400 kejadian bencana sepanjang 2023. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat tingginya angka bencana tersebut, sebagian besar adalah bencana hidrometeorologi, yaitu bencana yang diakibatkan oleh aktivitas cuaca, seperti siklus hidrologi, curah hujan, temperatur, angin, dan kelembaban.
Pantauan itu menunjukkan bahwa dalam 40 tahun terakhir mengindikasikan curah hujan ekstrem di Indonesia mengakibatkan tingginya angka bencana hidrometeorologi, berupa banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, serta kekeringan.
Dalam jangka panjang, bencana hidrometeorologi ini harus diwaspadai karena secara nyata mengancam sumber daya keberlangsungan hidup manusia, seperti pangan, air, dan energi. Ini dampak multidimensi yang nyata.
Ketika tingkat keparahan dan intensitas kejadian terkait perubahan iklim meningkat, kita dapat memperkirakan persaingan untuk mendapatkan bahan-bahan yang langka, seperti air, pangan, dan bahan energi, yang semuanya dapat menabur benih konflik.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Pada masyarakat perdesaan di pesisir dan daerah dataran rendah rentan terhadap kenaikan permukaan air laut, banjir, erosi, dan badai ekstrem. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya rumah, harta benda, pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya, sehingga menyebabkan migrasi massal.
Pada masyarakat yang tinggal di daerah kering, ketika lapisan es di kutub dan es laut mencair, lautan menjadi lebih hangat. Ini berarti lebih banyak kekeringan yang lebih parah serta membebani sumber air secara berlebihan. Terjadi gagal panen dan penggurunan, sehingga memaksa penduduk setempat untuk mengungsi secara massal.