Saya percaya, ‘ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana’. Harga diri seseorang terletak dari lidahnya dan kemampuan untuk menempatkan diri sesuai dengan situasi. Hormati lawan secara sportif. ‘Menang tanpo ngasorake’.
Jika dulu penjajahan datang dengan kekerasan fisik yang brutal, kondisi sekarang lebih sulit. Penjajahan seringkali tidak terlihat. Tidak membawa tentara, tidak membawa kapal perang. Bentuk penjajahan saat ini berbeda.
Para penjajah menyogok pejabat-pejabat kita, memengaruhi para intelektual kita, serta memecah belah suku-suku dan agama-agama kita dengan taktik politik divide et impera.
Semua ini masih berlaku hingga saat ini. Mereka yang tidak mau belajar dari sejarah akan dihukum oleh sejarah, dengan mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama yang dilakukan oleh pendahulunya. Kita harus ingat akan hal tersebut.
Agar kita tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah kita lakukan di masa lalu, dan agar kita dapat bangkit menjadi bangsa yang menang, kita harus mempelajari serta menerapkan sikap-sikap pemenang yang dimiliki oleh para pendahulu kita. Terutama pendahulu kita yang telah memberikan kemenangan besar bagi bangsa Indonesia.
Melalui buku ini, saya ingin berbagi dengan saudara, pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan dari bacaan saya, dari pengalaman saya, dan dari pemimpin-pemimpin saya, komandan-komandan saya.
Sebelumnya saya telah bercerita mengenai Jenderal Jusuf. Banyak Jenderal angkatan ’45 yang seperti beliau, yang bersih, yang jujur, yang di ujung hidupnya tidak memiliki apa-apa. Mereka adalah pemimpin luar biasa. Saya merasa banyak dipengaruhi oleh mereka. Mereka juga orang yang memiliki kreativitas, memiliki inisiatif, karena mereka merasa sebagai tentara rakyat.
Kisah Pak Jusuf mengingatkan saya dengan kisah Salahuddin. Salahuddin Al Ayyubi adalah salah satu tokoh idola saya. Kenapa? Karena pertama, dia seorang panglima perang yang tangguh. Dia berhasil dalam berbagai pertempuran dan dia memiliki kepemimpinan dan kenegarawanan yang sangat luar biasa. Dan dia selalu bertindak sangat santun, sangat kesatria, bahkan terhadap lawan-lawannya.
Banyak kisah beliau, misalnya suatu saat lawan beliau yang tangguh adalah Richard the Lionheart, Raja Richard yang pertama dari Inggris, Richard si Hati Singa. Ia adalah lawan yang tangguh. Suatu saat, Richard terkepung oleh pasukan Salahuddin Al Ayyubi dan Richard jatuh dari kuda. Salahuddin melihat dari bukit, kemudian adik kandungnya dipanggil suruh membawa kuda, antar ke Richard, dan pasukan yang mengepung disuruh mundur.
Kuda Salahuddin diberikan kepada lawannya, dan pasukannya disuruh mundur. Richard the Lionheart disuruh pergi untuk melanjutkan.
Contoh-contoh kepemimpinan semacam ini sangat dikagumi di mana-mana, termasuk di Barat. Dan kita ingat, saat beliau menjadi pemimpin kekaisaran Islam pada saat itu, dari Tunisia, dari Libya perbatasan Mesir, Suriah, Irak, sampai perbatasan Persia, Jazirah, semuanya berada di bawah kekuasaannya.
Yang paling mengharukan saat beliau meninggal, mereka membongkar istana beliau dan ternyata tidak ada harta karun, tidak ada kekayaan beliau. Karenanya, untuk melaksanakan pemakamannya sangat sulit. Akhirnya, panglima-panglima dari daerah-daerah dipanggil untuk menyumbang agar salah satu pahlawan Islam yang paling terkenal itu dapat dimakamkan dengan baik.
Jadi saya sudah bercerita tentang pelajaran yang saya ambil dari senior-senior saya di TNI, dari tokoh-tokoh besar seperti Salahuddin, sekarang saya juga ingin bercerita tentang pelajaran dari salah seorang mentor hidup saya, Gus Dur.
Alhamdulillah, saya memiliki kesempatan untuk mengenal Gus Dur sejak saya menjadi Mayor. Sebetulnya, ibu dari Gus Dur dan nenek saya juga adalah tetangga yang sangat dekat, usianya hampir sama, di Jalan Taman Matraman 10. Saya kira sudah menjadi budaya untuk melakukan kegiatan tetangga yang akrab ketika sudah memasuki usia tertentu. Saya sangat terharu ketika nenek saya meninggal, ibu dari Gus Dur yang memandikan nenek saya. Demikianlah kedekatan hubungan kami.
Antara keluarga Wahid Hasyim, Gus Dur, dan keluarga saya baik, tetapi secara pribadi saya juga mengenalnya dengan baik. Seringkali kita tidak selalu sejalan, kita memiliki perbedaan pandangan, tetapi saya menyadari bahwa Gus Dur adalah orang yang sangat visioner. Islamnya sangat moderat, inklusif, dan mampu berdialog dengan semua agama lain.
Pelajaran paling penting yang saya ambil dari Gus Dur adalah sikapnya yang selalu moderat. Dia tidak pernah ingin bermusuhan dengan siapa pun, dan selalu mengayomi. Islam kita harus menjadi Islam yang damai. Dia baik dengan orang Nasrani, Kristiani, bahkan dengan orang Yahudi, dia berani membuka hubungan. Yang penting adalah kita harus berhubungan. Yang penting adalah kita harus berdialog. Belum tentu kita harus setuju dengan pendapatnya.
Sifat untuk menghormati semua orang, sifat untuk mencari titik-titik temu, inilah pengaruh terbesar yang diberikan oleh Gus Dur kepada saya. Semoga hal-hal ini dapat saya bagikan kepada saudara-saudara melalui buku ini.
Melalui buku ini, saya juga ingin mengajak saudara-saudara sebagai bagian dari bangsa Indonesia untuk bertanya kepada diri kita sendiri: Apakah jasad para pemuda, para pejuang, para rakyat Indonesia di seluruh Nusantara hanya akan menjadi tulang yang tidak berarti, atau akan menjadi inspirasi bagi gerakan kita ke depan?
Seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya, saya tidak bisa hidup tenang ketika banyak anggota bangsa Indonesia saat ini tidak mengetahui perjuangan I Gusti Ngurah Rai, Ignatius Slamet Riyadi, Wolter Mongisidi, Bung Tomo, Pak Dirman, Pangeran Diponegoro. Saya tidak bisa hidup tenang saat banyak anggota bangsa kita tidak mengetahui sikap-sikap terbaik bangsa Indonesia.
Saya tidak bisa tinggal diam ketika nama Diponegoro, Gadjah Mada, Untung Suropati, hanya jadi nama jalan dan taman di kota-kota Indonesia.
Saya sejak kecil gemar membaca. Dulu tidak ada televisi, gadget, Internet, YouTube. Jadi saat waktu luang, saya bermain layang-layang, gasing, kelereng, perang-perangan, sepak bola, dan akhirnya membaca.
Selain membaca buku, saya suka mendengar dongeng dari kakek dan ayah saya. Mereka seringkali menceritakan tentang Gadjah Mada, Diponegoro, Sultan Hasanuddin, dan Teuku Umar. Mereka selalu bercerita tentang pahlawan-pahlawan kita. Bagi mereka, angkatan ’45 adalah masa kejayaan bangsa Indonesia.
Ketika saya sekolah di sekolah Inggris, saya diajarkan tentang sejarah pahlawan-pahlawan mereka, seperti Duke of Wellington, Lord Nelson, Montgomery. Saat saya pulang ke rumah dan menceritakan tentang Montgomery, ayah saya langsung berkata, “Tapi Panglima Besar Sudirman lebih hebat.” Selalu begitu. “Diponegoro lebih hebat.” “Siapa itu Wellington? Diponegoro!”
Angkatan ’45 sangat percaya diri, bangga, dan sensitif. Karena mungkin mereka merasakan penghinaan sebagai bangsa, ditindas, disebut inlander. “Kamu inlander. Kamu mau merdeka? Membuat peniti saja tidak bisa, mau merdeka.” Karena mereka merasa dihina, mereka melawan.
Seringkali saya mendengar cerita tentang paman-paman saya yang gugur. Di rumah kakek saya, rumah Pak Margono di Jalan Taman Matraman No. 10, sekarang namanya Taman Amir Hamzah, di Jakarta, ada ruangan Subianto dan Sujono. Dua putra mereka saat perjuangan setelah kemerdekaan, Subianto dan Sujono masuk tentara. Salah satunya bahkan langsung menjadi perwira karena lulus dari Fakultas Kedokteran. Yang lainnya masuk Akademi Militer Tangerang.
Pertempuran Lengkong pada Januari ’46 terjadi di mana Daan Mogot sebagai komandan dan taruna-taruna akademi militer pergi berusaha merebut pangkalan Jepang. Bentrokan senjata terjadi dan mereka semua gugur, termasuk Subianto, meskipun dia sudah menjadi perwira. Kakek saya kehilangan kedua putranya pada hari yang sama.
Peristiwa ini tidak pernah bisa dia lupakan. Kamar kedua paman saya di Taman Matraman waktu itu dipertahankan. Ransel mereka, helm mereka, sepatu mereka. Setiap kali saya datang ke sana, kakek saya selalu menyiapkan tenda Subianto untuk dipasang lagi. Saya diminta untuk bermain di tenda tersebut dan diperlihatkan barang-barang mereka.
Mari kita pelajari, dalami, dan jalani sikap-sikap para pejuang kita. Mari kita memberi arti nilai kepada perjuangan mereka.
Memberi Arti pada Perjuangan – prabowo2024.net
