Pemberantasan korupsi telah menjadi agenda utama di Indonesia setelah reformasi tahun 1998. Korupsi dianggap sebagai musuh bersama yang merusak fondasi negara dan menghambat terwujudnya pemerintahan yang bersih dan demokratis. Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai instrumen dan lembaga khusus dibentuk, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Namun, keberadaan pengadilan Tipikor dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan tersebut menuai kritikan dan kekecewaan dari publik, namun MK tetap mempertimbangkan beberapa hal sebelum mengambil keputusan. MK memerintahkan pembuat undang-undang untuk menyesuaikan UU KPK dengan UUD 1945 dan membentuk undang-undang khusus untuk pengadilan Tipikor.
Pada akhirnya, DPR mengesahkan RUU Pengadilan Tipikor pada 29 Agustus 2009. Namun, seiring waktu, pengadilan Tipikor mengalami berbagai masalah yang mengakibatkan penurunan kinerja, termasuk dalam proses seleksi hakim. Berbagai kendala dalam seleksi hakim antara lain disebabkan oleh keengganan akademisi, seleksi yang diburu waktu, kekurangan anggaran, proses rekam jejak tidak optimal, dan kurangnya kerja sama dengan PPATK.
Dalam kondisi ini, peningkatan kualitas seleksi hakim pengadilan Tipikor menjadi hal yang penting untuk memastikan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sumber: VIVA.co.id