Menurut Dr. Ray Levy, psikolog klinis, pada dasarnya setiap tantrum berakar dari satu hal sederhana: ketidakmampuan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
“Pada anak usia 1 hingga 2 tahun, tantrum sering kali muncul karena mereka ingin menyampaikan kebutuhannya, seperti ingin susu lebih banyak, popoknya diganti, atau mainan tertentu, namun mereka belum memiliki kemampuan bahasa yang memadai untuk mengungkapkannya,” jelas Dr. Levy. “Mereka merasa frustrasi ketika Anda tidak memahami apa yang mereka ‘katakan’.”
Seiring bertambahnya usia, tantrum pada balita lebih banyak terkait dengan perebutan kekuasaan. “Pada usia 3 atau 4 tahun, anak-anak sudah lebih mandiri,” lanjut Dr. Levy.
“Mereka lebih sadar akan kebutuhan dan keinginan mereka, dan ingin lebih banyak mengendalikannya.”
Memasuki usia prasekolah, meskipun anak-anak sudah dapat menggunakan kata-kata untuk menyampaikan kebutuhan mereka, tantrum tidak selalu berakhir.
Pada tahap ini, mereka masih belajar bagaimana mengelola emosinya, dan perbedaan pendapat kecil dapat dengan mudah berkembang menjadi pertengkaran.
Meningkatnya rasa ingin mandiri pada anak juga dapat menjadi sumber frustrasi ketika mereka membutuhkan bantuan. Contohnya, ketika mereka mencoba melakukan hal-hal yang menantang, seperti mengikat sepatu sendiri, dan menyadari bahwa mereka tidak bisa melakukannya sendiri.