Anggota DPR RI, Aboe Bakar Alhabsyi, menganggap bahwa istilah “restorative justice” perlu dimasukkan dalam revisi Undang-Undang (UU) tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai salah satu kewenangan dalam proses penyelesaian masalah pidana.
Menurutnya, “restorative justice” adalah pendekatan untuk menyelesaikan konflik hukum dengan mengadakan mediasi antara korban dan terdakwa, kadang-kadang juga melibatkan perwakilan masyarakat secara umum. Meskipun Polri telah melakukan hal tersebut, namun belum diatur dalam UU Polri.
Aboe Bakar menyatakan bahwa prosedur tersebut telah dilakukan di lapangan menggunakan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 sebagai dasar hukum. Namun, DPR RI perlu mempelajari batasan dan ketentuan dari skema “restorative justice” yang dapat dilaksanakan.
Selain itu, Aboe Bakar mengungkapkan bahwa sedang mempelajari rancangan UU Polri yang telah disetujui dalam rapat paripurna sebagai revisi UU inisiatif DPR, terutama terkait perkembangan masyarakat. Dia juga menyoroti perpanjangan masa dinas anggota Polri dan menekankan pentingnya menjaga sistem penghargaan yang ada di Polri.
Lebih lanjut, Aboe Bakar menjelaskan bahwa Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) melaporkan adanya sekitar 700 personel dengan pangkat Komisaris Besar dan sekitar 100 personel dengan pangkat Brigadir Jenderal, yang memiliki status non-job. Dia menekankan perlunya menganalisis situasi tersebut untuk menentukan batas usia pensiun dalam RUU Polri.
Tujuan utama dari revisi UU Polri ini adalah untuk memperkuat struktur kelembagaan Polri agar dapat memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.