Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid mengungkapkan bahwa penggunaan amicus curiae atau sahabat pengadilan di penghujung sidang Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bentuk intervensi peradilan.
Menurut Fahri Bachmid, amicus curiae adalah pihak yang merasa berkepentingan pada suatu perkara yang sedang diperiksa dan memberikan pendapat hukum kepada pengadilan. Namun, keterlibatan pihak ini hanya sebatas memberikan opini tanpa mempengaruhi keputusan akhir.
Praktik penggunaan amicus curiae umumnya terjadi dalam negara-negara dengan sistem common law dan jarang ditemui dalam negara dengan civil law system seperti Indonesia. Meskipun demikian, penggunaan amicus curiae tidak dilarang dalam sistem hukum Indonesia.
Konsep amicus curiae di Indonesia diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengharuskan hakim untuk memahami nilai-nilai hukum dan keadilan masyarakat. Namun, dalam prakteknya, amicus curiae lebih sering ditemui dalam badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Dalam konteks Mahkamah Konstitusi, pihak ketiga yang berkepentingan dapat memberikan pendapat dalam pengujian undang-undang judicial review sesuai dengan ketentuan hukum acara MK. Meskipun demikian, tidak ada pranata hukum amicus curiae yang diakui dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
Hakim MK dalam memutuskan perkara konstitusi, termasuk sengketa PHPU pilpres, didasarkan pada konstitusi dan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan secara terbuka.opyright © ANTARA 2024