Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menyatakan bahwa masyarakat sebaiknya menyerahkan proses penyelesaian sengketa pemilu kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Ujang, dalam berdemokrasi, penting untuk mempercayai lembaga negara yang bertanggung jawab untuk mengambil keputusan terkait sengketa pemilu.
Ujang juga menekankan bahwa meskipun menggelar demonstrasi untuk menolak hasil pemilu adalah bagian dari budaya demokrasi, penolakan tersebut sebaiknya dilakukan melalui jalur hukum yang telah disediakan, seperti MK atau Bawaslu.
Ia menyatakan keyakinannya bahwa MK saat ini semakin transparan dan independen dalam menangani persidangan sengketa pemilu. Seluruh proses persidangan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat, sehingga mereka dapat melakukan pengawasan secara langsung.
Ujang juga berharap agar MK dapat membuktikan netralitas dan independensinya melalui penyelesaian sengketa pemilu ini, terutama setelah salah satu hakim dituduh melanggar etika.
Ia menegaskan pentingnya masyarakat menerima keputusan akhir MK dengan lapang dada dan menghormatinya sebagai putusan final yang mengikat. Ujang berpesan agar tidak ada aksi penolakan atau demonstrasi anarkis terkait dengan keputusan MK.
Saat ini, sidang sengketa pemilu di MK masih berlangsung dengan agenda pemeriksaan saksi. Tim hukum TPN Ganjar-Mahfud telah menghadirkan sembilan ahli dan sepuluh saksi fakta dalam sidang tersebut. Sidang tersebut berfokus pada mendengarkan keterangan ahli dan saksi pemohon, serta pengesahan alat bukti tambahan pemohon.
Ahli yang dihadirkan antara lain I Gusti Putu Artha, Suharko, Aan Eko Widiarto, Charles Simabura, Didin Damanhuri, Hamdi Muluk, Leony Lidya, Risa Permana Deli, dan Franz Magnis-Suseno. Sementara itu, sepuluh saksi yang dihadirkan termasuk Dadan Aulia Rahman, Endah Subekti Kuntariningsih, Fahmi Rosyidi, Hairul Anas Suaidi, Memed Alijaya, Mufti Ahmad, Maruli Manogang Purba, Sunandi Hartoro, Suprapto, dan Nendy Sukma Wartono.