Mantan Bupati Aceh Tamiang, Mursil, yang menjadi terdakwa dugaan tindak pidana korupsi pertanahan, menolak dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Penolakan tersebut disampaikan oleh Mursil melalui eksepsi yang dibacakan oleh penasihat hukumnya, Junaidi, Zulfan, M Nasir, dan Tanzil, pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh, Kamis.
Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai oleh Sadri, dengan anggota Hamzah Sulaiman dan Ani Hartati. JPU Ichwan Effendi dan koleganya dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang juga hadir dalam sidang tersebut.
Mursil menolak dakwaan JPU dengan alasan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh tidak berwenang mengadili perkara kliennya karena perbuatan yang dilakukan oleh Mursil bukan merupakan tindak pidana korupsi. Junaidi, penasihat hukum Mursil, menjelaskan bahwa saat itu Mursil menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang pada tahun 2009. Sebagai pejabat pertanahan, Mursil mengeluarkan sertifikat tanah atas nama orang lain. Selain itu, ganti rugi yang diterima oleh Mursil tidak ada hubungannya dengan kliennya. Sertifikat yang dikeluarkan oleh Mursil hingga saat ini tidak ada gugatan hukum atau pembatalan. Oleh karena itu, Junaidi berpendapat bahwa perkara klien mereka seharusnya disidangkan di pengadilan tata usaha negara.
Selain itu, Junaidi juga menolak dakwaan JPU karena perbuatan yang didakwakan tidak sesuai dengan perundang-undangan. Salah satu perbuatan yang didakwakan adalah memproses permohonan sertifikat hak milik. Menurut Junaidi, permohonan tersebut telah diproses dengan sesuai oleh Mursil. Apabila terdapat kesalahan, maka yurisdiksi hukumnya adalah hukum administrasi negara.
Junaidi berpendapat bahwa dakwaan JPU harus dinyatakan batal demi hukum karena tidak diuraikan secara jelas, cermat, dan lengkap mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh Mursil. Mereka memohon kepada majelis hakim untuk mengabulkan eksepsi atau nota keberatan dari klien mereka dan menyatakan bahwa surat dakwaan JPU batal demi hukum atau setidaknya tidak dapat diterima.
Pada persidangan sebelumnya, JPU mendakwa Mursil melakukan tindak pidana korupsi pertanahan dengan kerugian negara sebesar Rp6,4 miliar. JPU menyatakan bahwa Mursil menerima uang sebesar Rp100 juta dari Tengku Rusli, saksi yang juga dituntut dalam perkara terpisah, untuk penerbitan enam sertifikat tanah. Sertifikat tersebut diterbitkan atas tanah eks hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit PT Desa Jaya yang izin HGU-nya sudah berakhir pada tahun 1988 dan tidak pernah diperpanjang. Tanah HGU tersebut merupakan tanah negara.
Setelah itu, Mursil menerbitkan sertifikat tanah eks HGU tersebut dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi atas tanah tersebut dengan nilai Rp6,4 miliar.
Pada akhir artikel tertulis: “Pewarta: M.Haris Setiady Agus, Editor: Edy M Yakub, COPYRIGHT © ANTARA 2023.”